Saturday, September 7, 2013

Pedati Laluan

Tulisan ini saya dedikasikan bagi mereka yang bertanya tentang hubungan lama dan metamorfosis anak manusia. Selamat membaca!

Siapa yang ingin berpisah dengan orang yang dicintai? Tidak ada, bukan.  Kalaupun ada pasti dengan amat sangat terpaksa. Termasuk saya yang mulanya tidak rela jika harus berpisah terlalu lama. Bagaimana tidak, mendekati orang seperti dia saja butuh ortodoks berkala. Mana mungkin saya bisa meninggalkan keturunan adam yang makbul meluluhkan seluruh afeksi.

Sanda tak ingin membelot dari kaidah Tuhan. Setiap kali mencoba meluruskan, ada saja yang berusaha membelokkan.

Dikira mengambil keputusan seperti ini mudah. Salah, butuh waktu berhari-hari untuk meratapi. Kalau saya boleh menggoreskan warita, kegalauan saya ini berlangsung selama kurang lebih satu bulan. Sekitar bulan Agustus sampai September 2012. Tepatnya beberapa hari setelah dies natalis.

Awalnya saya sekedar mengimla artikel di blog yang memuat tentang aturan Tuhan. Saya menggampangkan saja kode etik itu. Alibi saya; kan masih dalam batas wajar. Namun, setiap waktu setelah insiden itu perasaan saya menjadi was-was. Tidak tahu harus berdenai ke arah mana.

Setiap kali kata berparak terlintas di benak saya, air mata mengucur deras dari zona punca. Fisura menjadi pelarian bagi afeksi. Saya tidak berani mengatakan yang sejujurnya kepada malaikat Tuhan. Saya hanya menyimpan rahasia dalam diam, sambil sekali-kali mencoba mengancaikan kaidah Tuhan. Hati menjadi resah. Kenyataannya saya tak bisa mengalpakan preskripsi itu. 

Keterpaksaan yang membuat sanda berani. Walaupun afeksi merintih minta kembali.

17 September 2012

Seperti yang tersurat di atas, pada tanggal itu untuk pertama kalinya saya memberanikan diri agar jujur apa adanya.  Jemari saya kelu kala dipinang untuk menggoreskan gubahan. Lagi, air mata menjadi ujung pelabuhan.

Delivered : MR. X


Keputusan yang saya ambil merupakan dekrit fatal. Salah sedikit bisa mengimpresi kualitas hidup. Sambil menunggu balasan,  saya meringkukkan kaki di penjuru ruangan. Saya takut bila dia menangis. Tak tega rasanya jika melihat dia bersedih, apalagi bersedih karena saya; orang yang pernah menjejali afeksinya.

Hasta saya meretek pada saat ponsel berbunyi. Dia bilang dia tidak ingin meninggalkan saya sendiri. Kalimatmu ambigu, sayang. Lalu saya terlena dengan untaian kata manis itu. Saya mengurungkan niat untuk berpisah.

Kerepotan seperti ini sudah menjadi rutinitas setiap hari; berpikir bagaimana cara menguatkan hati. Setiap kali saya mencoba, saya selalu patah pucuk. Afeksi sulit didustai. Saya masih sangat mencintainya tanpa cela. Entah sudah berapa kali saya merengek namun tidak disanggupi. Sebenarnya hati saya juga meronta kalau katakan cinta. 

But, this is my life. Not your destiny. I determines the choice forward, dear.

Oktober 2012...

Kamu menyerah, ya? 

The End! Kita nggak bisa bersama lagi.

Mungkin sira lelah dengan segala jurus yang dilontarkan agar bisa berpisah. Saya tidak tahu harus bahagia atau bersedih. Separuh hati saya mengajarkan kebahagiaan karena saya makbul memenda kode etik pencipta alam dan sisanya meronta-ronta meminta cinta.

Bukan saya yang berhasil memutuskan. Tapi, Tuhan melalui seorang adam. Dia selalu berhasil membuat saya patuh pada aturan, dari kesederhanaan hingga permainan. Terima kasih atas rasa yang pernah tercipta di antara kita.

Sssst, sanda sudah lupa pada sira. Sudah tidak mengasihi sira seperti yang lama. Diam, ya.

Memang begini jalan kita. Memilih sendiri agar bisa saling memperbaiki diri. Kamu ke buana akau ke segara. Berbeda tanpa koma. 



I dedicated it special for you.
Sira; lelaki masa lalu pecandu prosa.


17:51 ~ 070913
Salam sejawat kekasih lama,