Sunday, March 13, 2016

Tuan Mahal Kabar


Selamat sore, Tuan.

Kamu dimana?
Sedang apa?
Kapan pulang?

Lupakan pertanyaan tololku. Anggap aku tak pernah menannyakannya sebab aku bukanlah seorang pengemis. Entahlah kenapa aku bisa sebodoh itu menanyakan hal-hal tidak penting pada seseorang yang harga kabarnya begitu mahal, sampai batangan emas pun tak mampu membeli sebuah kabar. Mungkin hari-harimu dijejali banyak kesibukan hingga lupa kalau ada yang sedang harap-harap cemas menanti balasan pesan.

Aku paham suatu hari nanti kita akan sama-sama lupa, yang kita ingat hanyalah yang berada di dekat kita. Bukan aku maupun kau. Aku mengerti suatu saat nanti kita akan tenggelam dalam kesibukan. Sampai lupa kalau kita pernah saling membutuhkan. Aku sadar suatu waktu nanti salah satu dari kita akan mengangkat tangan saat ditawan keadaan. Menyerah meninggalkan kisah banyak kenangan. Begitulah sajak hipotesaku. 

Benar saja, tebakanku tidak meleset, jauh hari sebelum hal ini terjadi aku mencoba menguatkan hati untuk berani berjumpa lagi dengan hal yang sangat aku takuti. Namun kenyataan tak semudah itu. Aku masih terlalu rapuh untuk menyalami kepergian, meskipun kepergian itu sudah berada tepat di depan mata. Rasanya ingin segera menutup pintu lalu meringkuk di pojokan ruang.

Kau lupa ada yang sedang berusaha kabur dari kenyataan menyakitkan dengan memejamkan mata atau dengan melibatkan diri dalam berbagai proses kegiatan. Begitulah caraku melupa. Bukan melupakanmu, tetapi melupakan kabarmu. Sebab aku tak ingin berlama-lama menangis dalam diam, begitu senyap.

Kau perlu tahu, aku tidak meminta barang. Tidak ingin bunga. Tidak ingin coklat. Tidak ingin boneka. Hanya butuh waktumu yang katanya lebih dari sekedar hanya.

With love,
Anak kecil


- indikann -
17 Agustus 2015