Saturday, March 15, 2014

Kelabu


08:25

Kelas kosong.

Pagi tadi sengaja berangkat pukul 06:45 saat bel telah dibunyikan. Semangat yang sedari kemarin tersemat sudah pudar tanpa sebab. Rasanya tak ada niat untuk menginjakkan kaki di tempat yang biasanya kugandrungi; ruang dimana aku bisa tertawa lepas, melempar jauh-jauh penat yang begitu pekat. Materi yang diberikan setelah tadarus pagi selesai tak sedikitpun kusentuh, kuselami, kugeluti. Waktu empat jam habis untuk menulis perasaan wanita yang ingin segera pergi dari bangku baris kedua. Tiga mata pelajaran kulakoni dengan setengah hati, kalau bukan kewajiban ogah kulakukan.

09:47

Istirahat.

Akhir-akhir ini aku lebih suka duduk sendiri membaca sajak luka pada cermin yang melukiskan seorang gadis kecil dengan mata sayunya yang barangkali ingin segera berlari dari hidup yang ia jalani. Dari ungkitan masa lalu  hingga gejolak dalam hati. Tak tahu bagaimana menjelaskannya, sebab semua kalimatku sedari tadi sudah mewakili perasaan nurani.

14:03

Menunggu hujan reda.

Hujan mengguyur, turut berduka atas kematian afeksi. Lapangan basket berubah menjadi kubangan air, meluap-luap sama seperti emosi yang sukar kutahan lagi. Tiuapan angin membuat ragaku menggigil. Dingin. 

17:21

Di balik pintu.

Maaf, jika aku tidak mudah dimenegerti. Sebab hanya diriku yang tahu betapa sulitnya menjadi aku. Tak ada yang tahu tentang kontroversi. Belum ada yang bisa menggenggam seerat genggamanku sendiri. Hanya kelima jemari kananku yang bisa menggenggam begitu erat jemari lainnya. Hanya itu.... Ya, hanya aku sendiri.


Sesekali, boleh kan aku bercerita manja seperti orang yang paling tersakiti di dunia ini. Padahal masih banyak yang disakiti lebih dari ceritaku.

Wednesday, March 12, 2014

Lama Tak Jumpa



Selamat malam, Kekasihku.

Bagaimana dengan Minggu malammu tanpaku, menyenangkan atau malah menimbulkan keheranan. Pasti biasa saja, sebab kita biasa melakoni hidup sendiri-sendiri. Tanpa memperhatikan hubungan kita yang terlihat seperti 'hanya' status belaka.

Minggu ke-32 sejak perpisahan sekolah tanpa kehadiranmu membuatku kehabisan kesabaran. Sudah kuhubungi berkali-kali tetap tidak digubris juga. Mungkin sedang sibuk di lingkungan barunya, kuatku pada nurani. 

Banyak yang ingin aku katakan. Tapi bagaimana caranya, bila dihubungi tak pernah membalas. Kalau ditemui aku tak tahu dimana alamat rumahmu. Ke sekolahmu? Pemikiran tidak bertanggung jawab. Bisa-bisa aku kena cacian lagi.


Boleh aku bertanya sesuatu,


Apa tidak ada waktu lima menit sebelum matamu terpejam untuk mendengar suaraku, yang katamu dulu selalu menyisakan rindu? 

Bicara soal rindu, tak bisa kutampik lagi. Tumpah ruah memenuhi lubuk hati. Sampai susah mengatur emosi sendiri sebab rindu yang semakin memuncak setiap hari. Tak terkecuali saat orang lain membicarakanmu. Jujur saja kalau aku meminta pendapat pada orang, mereka selalu memintaku untuk segera mengakhiri hubungan tak beraturan ini. Bagiku terlalu sulit melupakanmu, semua cerita kita dan berbagai kenangan lalu. Kupilih saja tetap bertahan menggenggam jemari yang tak kunjung kemari. Toh, dalam novel yang baru saja kubaca juga begini; sabar menanti sampai pada akhirnya bersatu kembali. Sayangnya hanya dalam cerita fiksi.

Setelah pulang sekolah bisakah menemuiku sebentar saja? 


Setahuku untuk menuju tempatmu mengukir prestasi musti melewati jalan depan sekolahku dahulu. Kalaupun tidak melewati depan sekolah, mungkinkah kamu mau melewati jalan lingkar yang jaraknya lebih jauh beberapa kilometer.  Kupikir tidak, sebab aku tahu siapa kamu; tiba di sekolah saat bel masuk berbunyi. Rasanya jadi teringat masa-masa lalu kala kita berjalan bersama menuju lapangan dekat sekolah.

Bukankah mengetik namaku di ponselmu lalu mengirimnya ke nomorku tidaklah sesulit mengangkat beban 500 ton, tapi kenapa jarang kaulakukan?

Ini yang kurasakan beberapa bulan terakhir. Namamu tak lagi memenuhi kotak masuk ponselku, adanya namamu berkali-kali menyinggahi kotak keluar. Mataku bosan melihat nama orang lain memasuki ponselku semau mereka. Namun, yang kutunggu tak kunjung memberi kabar.

Kalau ada yang memperhatikanku lebih dari kamu, apa kamu tak takut kehilangan?


Ketika mereka pada menanyakan kabarku, tetap kukuatkan hatiku untuk tidak melaju terlalu jauh. Aku takut salah langkah, aku tak mau mengkhianati kesetiaanku padamu. Kubalas saja kepedulian mereka sekenannya, tak apa kalau dibilang tidak peka. Toh, aku sudah berkepunya kamu yang tak kunjung datang.


Ini tentang semesta kita berdua. Aku di sini sedangkan kamu di sana. Berbeda.


Dari aku, untuk para pembaca
10 Maret 2014
00:28