Kali ini purnama begitu berat untuk aku lepas. Bukan. Bukan karena masa lalu yang masih meraung sepanjang waktu. Bukan juga karena rindu yang setiap waktu memanggilku. Tapi karena kamu; sesuatu yang selalu ingin tahu. Aku tidak malu jika kamu bertanya ini itu. Malah pertanyaan polosmu aku jawab dengan balik melugu. Lucu!
Namun sayang, semua pertanyaanmu menukik tajam. Secara perlahan memekarkan cinta yang pernah kutanam. Rasa itu kembali datang dan meraung-raung menggerogoti setiap inci labirin suci. Aku tidak jatuh cinta lagi pada sudut yang pernah menorehkan Vulnus. Yang dulu membuatku melayang tinggi mengelilingi sang gari lalu menjatuhkanku pada gurun ber-kaktus.
Katamu pertanyaan itu hanya candaan lalu. Untuk mengisi waktu, kilahmu.
Bagiku itu caramu untuk menikungku. Membalikkanku pada kehidupan lampau. Memasungku demi sejengkal kebahagiaanmu. Kamu tertawa? Lega? Iya? Katakan saja!
Kala itu pandangan mataku terjebak dalam setiap untaian kata yang kamu lontarkan. Aku tak bisa mengalihkan perhatianku. Aku tertegun. Perlahan aku pahami betul makna dari sederet kata. Untaian itu menancapkan derita. Ah...
Kamu membalikkan setiap perkara;
Katamu aku ini wanita tak berguna
Katamu aku selalu menyisakan luka
Katamu aku hanya menyusahkan saja
Katamu cintaku seperti sayembara yang diberikan kepada siapa saja secara cuma-cuma
Katamu setiap perkataanku adalah dusta
Kamu bilang aku selalu bermain dengan cinta
Kamu bilang aku selalu tergoda pada setiap kata yang dilantunkan anak manusia
Sungguh, aku tak pernah berani bermain-main dengan cinta. Aku hanya ingin membagi cinta pada siapa saja yang serius terhadapnya. Bukan kepada mereka yang menganggap remeh perihal asmara. Apalagi kepada mereka yang 'berkawan' dengan angka dua. Sebab yang aku harapkan adalah cinta kasih yang berasal dari Tuhan, karena cinta dari Tuhan adlaah cinta yang tak akan pernah habis dimakan waktu.
Mungkin orang bilang aku terlalu belia jika harus berbicara soal cinta. Nyatanya aku memang berkarib tentang cinta, karena aku hanyalah penulis sok maha tahu.
Namun sayang, semua pertanyaanmu menukik tajam. Secara perlahan memekarkan cinta yang pernah kutanam. Rasa itu kembali datang dan meraung-raung menggerogoti setiap inci labirin suci. Aku tidak jatuh cinta lagi pada sudut yang pernah menorehkan Vulnus. Yang dulu membuatku melayang tinggi mengelilingi sang gari lalu menjatuhkanku pada gurun ber-kaktus.
Katamu pertanyaan itu hanya candaan lalu. Untuk mengisi waktu, kilahmu.
Bagiku itu caramu untuk menikungku. Membalikkanku pada kehidupan lampau. Memasungku demi sejengkal kebahagiaanmu. Kamu tertawa? Lega? Iya? Katakan saja!
Kala itu pandangan mataku terjebak dalam setiap untaian kata yang kamu lontarkan. Aku tak bisa mengalihkan perhatianku. Aku tertegun. Perlahan aku pahami betul makna dari sederet kata. Untaian itu menancapkan derita. Ah...
Kamu membalikkan setiap perkara;
Katamu aku ini wanita tak berguna
Katamu aku selalu menyisakan luka
Katamu aku hanya menyusahkan saja
Katamu cintaku seperti sayembara yang diberikan kepada siapa saja secara cuma-cuma
Katamu setiap perkataanku adalah dusta
Kamu bilang aku selalu bermain dengan cinta
Kamu bilang aku selalu tergoda pada setiap kata yang dilantunkan anak manusia
Sungguh, aku tak pernah berani bermain-main dengan cinta. Aku hanya ingin membagi cinta pada siapa saja yang serius terhadapnya. Bukan kepada mereka yang menganggap remeh perihal asmara. Apalagi kepada mereka yang 'berkawan' dengan angka dua. Sebab yang aku harapkan adalah cinta kasih yang berasal dari Tuhan, karena cinta dari Tuhan adlaah cinta yang tak akan pernah habis dimakan waktu.
Mungkin orang bilang aku terlalu belia jika harus berbicara soal cinta. Nyatanya aku memang berkarib tentang cinta, karena aku hanyalah penulis sok maha tahu.
Di malam suntuk saat kamu berbicara
tentang tabiat dustaku pada siapa saja.
Aku tidak membencimu. Hanya saja aku
bertanya-tanya tentang kedewasaanmu.
Aku tidak marah ketika kamu menjadi
selingan di masa lalu.
Tapi aku merintih. Mengapa kamu tak
memberitahuku dari dulu.
Aku tidak menyesal pernah
mengenalmu.
Sebab aku tahu, mungkin kamu yang
lebih pantas mendampinginya.
Tidak sedikitpun rasa iri aku
biarkan tumbuh mengiringi kebahagiaanmu.
Dan aku lebih memilih untuk sendiri
dahulu sampai Tuhan mempertemukanku,
Karena aku bukan wanita yang bisa
dipermainkan oleh cinta apalagi kata 'dua'.
240613 02:14 AM
No comments:
Post a Comment