Beberapa jam lalu, ada seorang wanita menghubungiku. Wanita itu menceritakan keluh kesah mencintaimu. Ketika dia bercerita tentang kamu, aku pura-pura tak mengerti arah pembicaraan tersebut. Padahal aku pernah dengar samar-samar kalau dia sempat memiliki tempat spesial di masa lalumu.
Layaknya menanggapi celotehan orang, aku terus saja mendengarkan isi hati yang ia curahkan. Aku meresapi betul setiap kalimat yang ia tuliskan. Semakin lama aku meresapi, semakin dalam luka yang tertancap pada hati. Kebenaran dari setiap ceritanya sukar bila diragukan, karena aku sudah mengenal wanita itu cukup lama.
Jam dinding berdentang, menunjukkan pukul dua belas tepat. Dua puluh lima menit kemudian People Like Us hasil goresan Kelly Clarkson berkumandang dari layar ponselku. Rupanya ada satu pesan masuk entah dari siapa.
 |
New message |
Setelah menekan read, aku tercengang lebih lama. Mengapa timbul masalah baru sehabis terpercik suka cita. Pesan dari nomor tak dikenal itu melilit sanubari. Nurani yang sudah kritis mau dibuat sedemikian friksi seperti apalagi.
"Tolong jauhi kekasihku, dia sekedar menjadikanmu sebagai selingan. Dia tak akan pernah mencintaimu karena hanya aku yang pantas berada dalam kehidupannya. Bisakah kau berjanji untuk menjauhi? Aku yakin kau pasti bisa. Kalau dia mendekat, segeralah beranjak pergi tanpa berpikir dua kali sebab kamu akan terus tersakiti jika berani melanggar janji."
Siapa lagi ini, darimana dia mengenal aku. Apakah dia sudah lama memata-mataiku atau dia punya telik sendhi? Pertanyaan konyol itu membuatku semakin penasaran. Perintah dalam kalimat itu menegaskan kalau dia sudah mengenal aku dan laki-laki paruh baya itu.
Satu masalah belum usai sudah ditambah masalah lagi. Celotehan wanita tadi saja belum total aku tanggapi tapi malah semakin miris ditambah perintah menjauhi. Tak henti-hentinya persoalan baru menghantamku sejak aku mengenal pria bersahaja.
Sengaja pesan tak dikenal itu aku dicampakkan lalu aku melempar ponselku ke tempat peristirahatan. Ku pejamkan mataku sambil menarik nafas dalam-dalam, kali saja bisa menjernihkan pikiran. Selang beberapa detik, kembali kubuka punca kemudian merebahkan diri di atas sofa terracotta.
People Like Us kembali meraung melalui ponselku. Dan itu memaksaku melangkah ke arah suara itu berasal. Satu pesan baru (lagi). Kali ini berasal dari wanita yang pesannya belum aku tanggapi sepenuhnya.
"Aku rasa dia sudah berubah semenjak aku tak pernah mempedulikannya. Kata orang dia pernah mencintaiku namun saat itu aku tak paham. Setelah aku sadar dan mencintanya begitu dalam, dia jarang menyapaku dan menghindar dariku. Bahkan tak pernah lagi namaku terucap dari sudut birainya. Namamu kini menggantikanku, dia sering menyapamu kan? Aku tahu itu (Smile emotion)."
Ah, kenapa wanita itu juga tahu kalau pria sederhana sering menyapaku. Pasti hatinya seperti tercabik-cabik. Lebih sakit dari cakaran kucing. Dia pasti sering memperhatikan
kochanie, panggilan untuk pria bersahaja yang membuatku betah berlama-lama bersama. Tunggu, aku ingat saat dulu berbincang-bincang dengan
kochanie, sorot mata wanita itu terfokus pada sosokku.
Kalau wanita itu tahu jika aku dekat dengan pujaan hatinya, kenapa dia malah memilih aku sebagai tempat pencurahan isi hatinya? Karena sosokku yang terbiasa berkutit dengan masalah? Karena aku biasa menulis naskah? Atau ada sebab lainnya? Aku tak mengerti tujuannya. Ini membingungkan.
Sepertinya aku perlu meluruskan kembali jalan pikiranku. Aku perlu berpikir positif tentang wanita itu. Kali saja dia menganggapku pantas dihujati muntahan afeksi. Jadi, aku harus menanggapinya seperti menjawab luapan kisah orang.
 |
Can you hear me? If you hear me, everybody can hear you too. | |
|
|
 |
I will see you, not now but someday |
Aku bingung harus menjawab apa, aku takut kalau jawabanku membuatnya semakin sakit hati. Ku kepalkan kedua tanganku sambil menundukkan pandangan; berpikir cara membalas pesan agar tidak menyayat hati anak orang.
"Aku dan dia tidak lebih dari seorang teman, sungguh (Hug emotion). Jangan berpikir pada satu poros yang sama. Buka pikiranmu, mulailah dengan meyakinkan diri untuk tidak menyesal dan tidak mudah percaya pada omongan orang. Kamu bisa menyapanya duluan, bukan? Dicoba dulu saja (Triple smile emotion)."
 |
Trust me, please! |
Lebih singkat dari curahan hatinya, kan? Kata-kata itu yang terbesit dipikiranku lalu aku ketik kemudian aku tekan
send untuk dikirim ke nomor ponsel wanita itu. Semoga saja aku tidak salah kata dan wanita itu puas dengan jawaban singkatku.
Sembari menunggu balasan dari wanita itu, aku membolak-balikkan Yang Menunggu Dengan Payung oleh Zelfeni Wimra. Aku suka dengan cerita seperti ini, antologi apalagi. Girang rasanya apabila meresapi kalimat dari setiap bacaan. Mungkin sama pada kebiasaan
Kochanie. Bedanya (sekarang) aku lebih suka pada cerita berbau asmara, sementara
Kochanie suka melahap segala macam bentuk bacaan.
Sudah satu jam aku menunggu balasan dari pesan singkat wanita bermata hitam legam, namun tak kunjung juga
People Like Us beredering dari penjuru ruangan tempat aku meletakkan ponsel. Tak biasanya ia seperti ini. Biasanya juga aku yang membalas lama. Jangan-jangan dia marah pada kata-kataku. Aduh, bagaimana jika ini terjadi..
We come into this world unknown
But know that we are not alone
They try and knock us down
But change is coming, it's our time now
...
Suara Kelly Clarkson yang berpadu dengan sentuhan musik artistik bergema dari penjuru ruangan. Ada pesan baru masuk, gumamku dalam hati. Kusahut ponsel kesayanganku dari sebelah red rose bouquet. Sambil melangkahkan kaki menuju sofa terracotta dekat jendela, kugeser layar ponsel bertuliskan slide to unlock.
Belum sempat aku duduk di sofa, rasa kantuk datang begitu saja tanpa permisi. Kucoba untuk menahan rasa kantuk yang sudah menduduki level sepuluh. Mungkin punca hanya menyisakan 5 watt saja. Saat aku meluruskan kaki di atas sofa terracotta aku sudah tak tahan lagi membaringkan punggung di atas istana busa bercorak jingga.
Aku menekan tombol read dan pesan itu muncul. Belum sempat aku membacanya, kepalaku sudah tertunduk. Ponselku terlepas dari genggamanku dan jatuh di atas karpet bercorak coklat tua. Mataku terpejam. Aku sedang mengunjungi bunga tidurku, dunia mimpi.
 |
I'm not a sleeper but I can sleep during day if I'm so tired. |
16:27 - 101113 ~ Menghabiskan sisa hari Minggu untuk melukiskan keadaan, sebelum bertemu dengan pelajaran yang kadang menjengkelkan karena tak bertemu dengan jawaban. Namun lebih banyak menyenangkan dan menyuguhkan kenangan.