18:15 PM
Senjaku kali ini terasa begitu
getir. Sama seperti senja sebelum jingga berubah warna yang kulewati bersama
isakan tangis berhari-hari. Sampai ruangan tempatku merebahkan badan dibanjiri
linangan air mata sungkan. Aku tak peduli.
Termenung daku dalam hanyutan
perasaan pasrah penuh penyesalan. Sumpah, tak akan kusentuh lagi abjad-abjad
yang membuatku patah hati. Juga kamu yang membuat nyaliku menciut pada detik
dimana Mei pagi ditinggal pergi. Lagi-lagi kesetiaanku diuji.
Demi apapun yang membuatmu
yakin sepenuhnya, aku tak pernah membalas setiap kali ada yang mencoba memasuki
celah hati yang semakin hari semakin merenggang. Kutolak mentah-mentah
perjuangan mereka. Sebab, rasa cintaku sudah terkunci oleh mentari. Sayangnya
masih ada bima sakti yang berkasta lebih tinggi. Tak heran bila mentariku luluh
lantah di hadapannya.
Aku
ingin memakimu, tapi Meiku menolaknya.
Ingin aku berbicara denganmu,
lebih tepatnya meneriaki namamu di hadapanmu langsung agar kamu paham seberapa
rumitnya perasaan dihatiku kala bersamamu. Jujur, aku bukan perempuan yang
mudah melupakan namun orang bilang perasaanku tak berfungsi normal seperti
kebanyakan. Bisa dibayangkan ketika orang dengan logika maut sukar sekali
meniadakan sesuatu yang berada dalam pikirannya.
Bibirku terancam bisu saat namamu
disebut. Penat rasanya ketika nama indah pemberian orang tuamu terus menerus
menghakimiku. Sudah kututup kedua gendang telingaku dengan lantunan ayat
syahdu. Sejenak kutulikan indra pendengaranku dari kata-kata bejatmu. Hasilnya
nihil, aku masih bisa merasakan detang jantungmu pada setiap denyutan nadiku
walaupun sudah berkali-kali kau membuat aliran darahku rendet. Mampet.
Masih
ada hati pada Mei yang ditinggal pergi.
Tanpa
basa-basi sana-sini lewat hati yang paling diuji akan kukatakan kalau masih ada
secuil sisa mentari dibalik punggung purnama yang sebentar lagi akan datang
menghampiri. Sebelum sebercak jingga tak lagi menyisakan warna di langit
khatulistiwa.
Ini
bukan soal rujuk kembali, ini tentang hati yang masih menyisakan rasa setelah
dipaksa melupa. Barangkali juga setelah disa(menya)kiti aku merasa semakin
sunyi.
I haven’t moved from the spot.
Yes, you.
-indikann-
No comments:
Post a Comment