Andai menghapus jejakmu semudah menekan tombol delete. Hanya dengan menekan selesai sudah pengakhiran hal yang tidak diinginkan. Nyatanya, tak segampang itu. Butuh waktu. Sekalipun aku tak membicarakanmu, hatiku tetap merapal namamu. Walaupun aku menjauh dari segala yang berbau tentangmu, aroma itu masih menusuk, mencakar, menikam lubuk hatiku.
Air mata meruncing setiap wajahmu terbesit dalam ingatanku. Ingin rasanya amnesia seketika. Tak pernah mengingatmu lagi. Kalau aku bisa memutar waktu aku tak mau menemuimu. Tak akan sudi. Mungkin hidup akan berjalan indah dan mudah tanpa kepingan luka. Ya, kalau aku bisa amnesia.
Rasakan bagaimana sakitnya menahan rindu yang tak pernah sampai. Betapa rapuhnya aku dikala menahan rindu sendirian. Sendirian. Sendirian. Tanpa pelukan sekalipun. Aku masih kuat bertahan, pura-pura ceria dihapadan orang, padahal tersimpan selusin kepedihan yang tak bisa aku uraikan. Munafik bukan, berkata baik-baik saja padahal ada apa-apa.
Aku baik-baik saja... Sungguh.
Aku masih bisa menahan diri untuk tidak menghubungimu seperti yang kau mau. Tapi tidak untuk menahan namamu dilantunkan dalam setiap do'a. Begitu caraku memelukmu; diam-diam.
Meski aku sendirian, aku tetap bertahan. Menyetia dalam keheningan. Kamu tak tahu, bukan? Karena kamu tak mau tahu kehidupanku. Egois.
Bisa aku mengataimu egois, pantas? Pikir saja sendiri.
Memangnya aku tidak egois, tak membagi rinduku untuk disematkan dalam hatimu. Ya, aku egois.
Aku baik-baik saja... Percayalah.
Kau, tak perlu lagi kembali ke arahku. Teruslah berjalan menuruti wanitamu. Pergilah, Sayang. Sejauh mungkin! Sampai ragamu tak terlihat dari pelupuk mata. Asal jangan berbalik ke arahku, kamu akan menemukan kebohongan demi kebohongan yang tercipta. Mulai dari perasaan sampai senyuman. Masih mau aku bohongi? Tidak, bukan? Maka, berjalanlah dengan wanitamu.
Tanpamu aku masih bisa menghirup udara bebas. Berlari kesana kemari menghiraukan sorot mata yang menuju ke arahku. Aku masih bisa tertawa. Lebih tepatnya pura-pura tertawa. Tapi aku bisa tertawa tanpamu. Sungguh, sesaat setelah menulis ini aku akan menertawai perasaanku sendiri.
Aku masih bisa menahan diri untuk tidak menghubungimu seperti yang kau mau. Tapi tidak untuk menahan namamu dilantunkan dalam setiap do'a. Begitu caraku memelukmu; diam-diam.
Meski aku sendirian, aku tetap bertahan. Menyetia dalam keheningan. Kamu tak tahu, bukan? Karena kamu tak mau tahu kehidupanku. Egois.
Bisa aku mengataimu egois, pantas? Pikir saja sendiri.
Memangnya aku tidak egois, tak membagi rinduku untuk disematkan dalam hatimu. Ya, aku egois.
Aku baik-baik saja... Percayalah.
Kau, tak perlu lagi kembali ke arahku. Teruslah berjalan menuruti wanitamu. Pergilah, Sayang. Sejauh mungkin! Sampai ragamu tak terlihat dari pelupuk mata. Asal jangan berbalik ke arahku, kamu akan menemukan kebohongan demi kebohongan yang tercipta. Mulai dari perasaan sampai senyuman. Masih mau aku bohongi? Tidak, bukan? Maka, berjalanlah dengan wanitamu.
Tanpamu aku masih bisa menghirup udara bebas. Berlari kesana kemari menghiraukan sorot mata yang menuju ke arahku. Aku masih bisa tertawa. Lebih tepatnya pura-pura tertawa. Tapi aku bisa tertawa tanpamu. Sungguh, sesaat setelah menulis ini aku akan menertawai perasaanku sendiri.
Percayalah, tanpamu aku baik-baik saja. Bahkan jauh lebih baik daripada saat bersamamu. Semoga perkataanku memang benar adanya, tanpa dusta.
23:48, 6 Januari 2014
No comments:
Post a Comment